Pasang sayap dan sedia lautan, atau sekurang-kurangnya segenangan laguna, adalah sejumlah jawaban arif untuk jelata pemimpi semisal Jahur.

Jahur – sebagaimana dilukiskan John Dami Mukese dalam puisinya “Menjadi Manusia” (1983) – adalah representasi khalayak jelata negeri ini, yang selalu bermimpi untuk berenang sebebas ikan, dan beterbang seluas angkasa. Mereka bermimpi menjadi sungguh manusia. Mengapa?

“Lantaran hidupnya terlampau kejam,” demikian tulis John Dami Mukese.

Di pantai ini Jahur bermimpi
Mimpi menjadi seorang manusia
Tapi Jahur sesungguhnya manusia
Lahir dari seorang wanita
Berasal dari seorang pria

Hanya ia merasa bukan manusia
Lantaran hidupnya terlampau kejam
(Rakyat jelata, ia. Ya rakyat jelata! Memang ditakdir untuk diperintah)
Maka ia selalu bermimpi
Untuk berenang sebebas ikan
Untuk terbang seluas angkasa

Dan coba berjalan seperti manusia

***

Kekejaman (dan tentu saja ketidakadilan) adalah realitas Jahur dan kawan-kawannya. Suatu kondisi di mana tidak ada kesesuaian antara harapan kodrati dan kenyataan. Ia, yang sebenarnya semartabat, diperlakukan yang berkuasa seakan-akan serendah alas kaki mereka. Ia, yang dikaruniai kehendak bebas, hanya bisa menatap dirinya terbelenggu dan tersekat dalam wilayah kekuasaan dan batas kepentingan sejumlah kaum elite. Ia diperintah, tapi bukan untuk melakukan sesuatu bagi dirinya. Ia diperalat, dimanfaatkan, dieksploitasi dan diperbudak untuk kepentingan para penguasa.

Tapi, menariknya, dari sekian khalayak jelata yang cenderung terpekur-pasrah dalam kondisi seperti ini, kita masih bisa temukan seorang Jahur yang tak ingin kalah-tabah. Dalam kondisi terbelenggu dan tersekat, yang cenderung diamini sebagai keadaan yang wajar, Jahur bisa merasakan bahwa dirinya seperti bukan manusia, selalu merasa ada yang tak beres dan terus bermimpi untuk bisa melepaskan diri dan menikmati kesejatian diri dan hidupnya.

Jahur – sang pemimpi – ini adalah figur temuan sang penyair, yang mempunyai konsep diri, kesadaran, dan spirit yang mesti diwarta-luaskan kepada kalayak jelata negeri ini, agar mereka dapat bangun dari keterlenaan mereka dalam realitas yang menindas. Atau, kalaupun Jahur bukan figur riil yang pernah dijumpai sang penyair pada suatu momen dan memberinya inspirasi, ia bisa diterima sebagai tokoh “ciptaan” sang penyair, yang sengaja diciptakannya untuk tujuan penyadaran. Sebuah kemasan gagasan dan ide nan kreatif, yang ingin disumbangkan sang penyair bagi proses pembaruan realitas.  

Dan pada tataran pemahaman ini, Jahur dan mimpi-mimpinya bukan sekadar angan kosong atau bualan, melainkan cita-cita dan harapan nan tulus-kuat untuk hidup; hidup sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, mimpi-mimpi Jahur mesti dipahami seturut dua makna hakiki dari kata mimpi itu sendiri, yakni cita-cita dan harapan.

Dengan demikian, puisi “Menjadi Manusia”, karya John Dami Mukese, tak pernah meninggalkan pesan bersimpang, apalagi kontradiktif seperti kutipan berikut: “Pertama, jadilah seperti Jahur: berkerinduan dalam, bertekad bulat, berkemauan kuat sebagai prasyarat sebuah perjuangan. Kedua, jangan jadi seperti Jahur: hanya bermimpi dan berhenti pada mimpi,” (FP, Selasa, 22 Mei 2012, hal. 9).

Pertanyaannya, apakah pada saat yang sama Jahur bisa bertekad bulat, berkemauan kuat, penuh daya juang, sekaligus hanya bermimpi, alias tidak ada kemauan dan perjuangan apa-apa? Jika bisa, maka hukum kontradiksi warisan Aristoteles perlu ditinjau kembali.

Maka, kalau sampai ada pernyataan yang rada menuding-sudutkan Jahur sebagai ia yang hanya bisa bermimpi, alias pembual, niscaya hal itu bukan lagi merupakan ekspresi dari sebuah interpretasi, melainkan sekadar luapan pemahaman subjektif penafsir yang tak terkontrol. Dan hal ini bisa menimbulkan problem serius, sebab dalam konteks pemberdayaan masyarakat, model interpretasi kontradiktif tersebut bisa menjelma jadi upaya pengkambinghitaman para kaum papa. Karenaitu, tak heran kalau kita sering mendengar ungkapan-ungkapan menyudutkan dan melecehkan masyarakat, di kala mereka bangkit menuntut hak-hak hidup mereka.    




Leave a Reply.