“Kalau masih Katolik, tinggalkan perang. Letakkan tombak dan pedangmu, ambil Rosario dan mulailah berdoa…”

Kata-kata ini mengalir terucap dari mulut Antonius Semara Duran, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Republik Indonesia, pada perayaan pemberkatan gereja Stasi St. Hendrikus Lamalota, Minggu (18/11). Semara Duran mengatakan ini sebagai seruan moral, yang ditujukan kepada warga dua kampung yang sedang berperang di Adonara: Lewonara dan Lewobunga. Ia mengungkapkan ini sebagai sebentuk keprihatinan terhadap orang-orang, yang katanya beragama dan beradab, tetapi berperilaku sangat lain.

Lantas pertanyaannya, apakah pernyataan ini dapat menjadi sebuah solusi alternatif bagi penyelesaian konflik berdarah itu?

Hmmm…kalau sebagai solusi, hemat saya, tidak! Ia tentu tidak menawarkan pernyataannya ini sebagai sebuah solusi, sebab ia sungguh paham, bahwa dalam situasi penuh kegeraman, kebencian, dendam, dan ketakutan, orang sulit mendengar nasihat-nasihat moral. Apalagi, mereka harus menyimpan senjatanya dan mulai berkanjang dalam doa. Tidak mudah seorang lelaki meletakkan alat perangnya, sementara jasad saudara atau anaknya masih tergeletak mengenaskan di hadapannya akibat peperangan itu.

Di sini, seruan perdamaian Duran terasa tak lebih dari sebuah ungkapan turut berbelasungkawa, sebab kata-katanya tak bakalan berdaya menghentikan perang yang tengah berkecamuk. Apalagi, pelbagai mediasi dan upaya untuk mendamaikan kedua kubu sudah tidak ‘mempan’.

Tetapi, mengapa Duran begitu percaya diri untuk menyampaikan imbauan itu? Ataukah ia sendiri tak sadar dan tak memperhitungkan kondisi di lapangan saat kata-kata itu mengalir terucap dari mulutnya?

Ada sejumlah jawaban yang dapat disodorkan untuk menjawabi pertanyaan tersebut di atas. Pertama, sebuah jawaban yang serentak menjadi sinisme dan kritikan terhadap Duran. Tetapi, itulah jawaban yang paling mudah dikemukakan, karena berkaitan dengan jabatan Duran. Jawaban itu adalah bahwa Duran menjalankan tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual penjaga moral. Sebagai Dirjen Bimas Katolik, Duran merasa wajib menyampaikan seruan itu, entah didengarkan atau tidak, entah berdaya membawa pertobatan atau tidak. Intinya, yang penting ia mengimbau dan menasihati.

Di sini, imbauan Duran tak lebih dari sebuah solusi standar, yang sekadar dikemukakannya untuk memenuhi tanggung jawab moral jabatan dan ke-intelektualannya. Sebuah gaya khas para intelektual penghuni menara gading.

Kedua, Duran menyampaikan imbauan dan seruan perdamaian itu sebagai sebuah kritikan. Mengapa?
Ketika seruan Duran, yang kemudian menjadi judul berita Flotim pada Flores Pos Edisi 18 Novemberi itu disebutkan dalam rapat redaksi pada tanggal 17 November sore, salah seorang staf redaksi Flores Pos langsung bertanya, “Siapa yang omong itu? Uskup Larantuka”.

“Kalau masih Katolik, tinggalkan perang…”. Kata-kata ini diharapkan diucapkan oleh seorang uskup atau para imam di wilayah konflik tersebut. Hal ini beralasan, sebab mereka yang menjaga kehidupan  moral umat. Merekalah yang secara langsung menanamkan nilai-nilai kristiani ke dalam hati dan pikiran umat setempat. Maka, ketika umatnya ‘melenceng’, merekalah yang harus pertama-tama mebuka mulut dan menyampaikan seruan tersebut. Merekalah yang harus pertama-tama mengingatkan kembali umat akan nilai-nilai moral kristiani.

Namun, karena ternyata harapan ini tak terpenuhi, maka seorang Duran terpaksa harus angkat bicara, walau ia hanya ‘berkicau’ dari kejauhan, dan karena itu tidak tepat sasar. Ingat, saat itu Duran tidak sedang membawakan sambutannya di hadapan warga Lewonara dan Lewobunga.