Pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat pasi…
Dia…seorang lelaki tua pengemis.


Dengan sepenggal puisi ini, dua siswa SDK St. Ursula Ende pernah mengecoh ibunda mereka pada suatu hari. Ceritanya, kedua bocah itu sebenarnya sedang mengerjakan tugas yang diberikan guru Bahasa Indonesia di rumah; menghafal sebuah puisi. Tetapi, entah mengapa, tiba-tiba muncul ide kreatif dalam pikiran mereka untuk membuat ibunda mereka tertawa terbahak-bahak, setelah sebelumnya sangat marah.

“Ma…tukang ojek itu jahat sekali. Tadi, saat kami pulang sekolah, dia minta bayar lebih,” kata Krisna.

“Ha? Minta bayar lebih? Berapa nak?” Tanya ibu itu heran dan penuh rasa ingin tahu. “Empat ribu rupiah, ma…”, jawab Krisna dengan nada suara seakan sedang mengadu. “Empat ribu? Anak kecil diminta bayar empat ribu? Katerlaluan tukang ojek itu. Siapa dia? Ade kenal dia? Besok mama harus marah dia,” kata ibu itu geram.

“Pakaiannya compang camping, wajahnya pucat pasi,” jawab Krisna dengan gaya berdeklamasi. “Dia…seorang lelaki tua pengemis…”, lanjut Vicky, saudaranya, dengan gaya yang sama.

Sejenak ibu itu kelihatan seperti kehabisan akal. Kerongkongannya terasa mengering dan mulutnya seperti sudah terkancing, karena ia sungguh serius menanggapi pengaduan kedua putranya. Bahkan, ia sudah terlanjur ‘naik darah’. Tapi, ia akhirnya berbicara juga.

“Huuff...dasar kalian berdua. Kupikir kalian serius. Mama mengharapkan jawaban serius, tetapi ternyata kalian berakting,” kata ibu itu sambil menghembuskan nafas panjang untuk membuang rasa marahnya. Ketiganya lalu tertawa terbahak-bahak. Ibu itu merasa konyol, sementara kedua putranya merasa berhasil mempermainkan ibunda mereka.

Demikian sebuah pengalaman sederhana, yang nyaris dianggap sebagai sekadar aksi lelucon dua bocah usil. Namun, aksi kedua bocah ini ternyata bisa memberikan kita sejumlah pesan yang sangat berarti.

Dengan ‘bermain-main’ dengan syair atau rangkaian kata-kata puisi, kedua siswa sekolah dasar ini memperlihatkan bahwa mereka belajar puisi di sekolah. Sekolah tempat mereka belajar memberi mereka palajaran sastra untuk mempertajam nurani dan memperhalus budi bahasa mereka.

Puisi mendekatkan anak-anak pada kenyataan hidup. Puisi mempertajam intuisi dan sensitivitas anak-anak terhadap realitas. Melalui puisi dan karya-karya sastra umumnya, para guru di sekolah mencoba menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri anak-anak, berikut membentuk karakter dan kepribadian mereka. Dan, salah satu buah dari pendidikan nilai dan karakter adalah bertumbuhnya kepedulian dan rasa solider dengan yang menderita dan tersisi.

Namun demikian, pendidikan nilai dan karakter tidak hanya ada pada lembaga di mana kedua bocah tersebut bersekolah. Lembaga-lembaga pendidikan lainnya pun sudah lama memperhatikan model pendidikan ini. Apalagi, pendidikan nilai dan karakter sudah menjadi trend pada beberapa dekade terakhir. Model pendidikan ini muncul secara meluas di sejumlah negara sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan modern yang berorientasi pada persaingan pasar dan penciptaan teknologi canggih.

Dan perubahan orientasi pendidikan yang lebih bernuansa sosial ini, hemat saya, berdampak pula pada model pembangunan di dunia. Salah satu contoh konkretnya adalah pembangunan gaya donasi. Hal ini nampak dalam menjamurnya lembaga-lembaga donasi, yang atas nama solidaritas, menyalurkan bantuan ke pelbagai pelosok dunia untuk membantu mereka yang dianggap tidak berdaya. Bahkan, gaya donasi ini begitu kuat pengaruhnya di Indonesia, sehingga negara pun terpengaruh pola yang sama. Hal ini tampak dalam pelbagai program pembangunan yang mengalungi nomenklatur bantuan sosial.

Dari perspektif tertentu, model pembangunan ini dipandang sangat manusiawi karena mengangkat yang tak berdaya. Namun, ketika kenyataan memperlihatkan bahwa masyarat tidak malu lagi menjadi tukang ‘tadah tangan’ alias peminta-minta, program ini perlu dievaluasi. Bahkan, evaluasi ini terasa mendesak, karena sebagian masyarakat telah kehilangan etos kerjanya. Lantas, jika masyarakat hidup tanpa etos kerja, sampai kapan mereka akan terus hidup bergantung pada pihak lain? Dan akan jadi apa negeri ini kelak?

Kedua bocah: Krisna dan Vicky memberikan kita jawabannya. Meski hati mereka akan teriris kala penggalan puisi di atas menghantar mereka kepada kenyataan sesungguhnya, di mana ada banyak orang di negeri ini yang perlu ditolong, tetapi mereka juga akan menarik hikma dari perjuangan seorang tukang ojek, yang sudah menjadi sahabat mereka.

Mereka akan beriba dan bersimpati kepada orang-orang susah di jalan-jalan kota dan di kampung-kampung, tetapi mereka juga akan bertanya, “Kalau orang lain bisa mencari hidup dengan cara menjadi tukang ojek dan melakukan pekerjaan lainnya, mengapa ada orang yang hanya bisa menadahkan tangan kepada orang lain? Kita boleh solider, tapi harus kritis agar tidak mematikan potensi orang-orang yang masih bisa bekerja untuk menghidupi dirinya.

“Pakaiannya compang-camping, wajahnya pucat pasi... tapi ia seorang pekerja keras yang letih, bukan peminta-minta,” demikian syair baru Krisna dan Vicky di babak kedua aksi usil mereka.