“Lapak-lapak ikan dibalikkannya, lalu pergi entah ke mana…piring-nasinya ditelungkupkannya, lalu menadahkan tangan entah kepada siapa…” Demikian sepenggal catatan Harian Umum Flores Pos tiga hari lalu, tentang laku dan tingkah orang-orang kita; para penjual ikan di sejumlah pasar di kota Ende.

Anton Harus menulis, “Pasar ikan Mbongawani Ende, yang biasanya ramai setiap hari, mendadak sepi pada hari Senin, 24 September. Tak satu pun penjual ikan yang tampak di sana. Sementara sejumlah lapak ikan tampak sengaja dibalikkan. Beberapa orang ibu yang datang ke pasar pagi itu terpaksa pulang kembali dengan tangan hampa. Mereka tidak mendapatkan ikan,” Flores Pos, Selasa (25/9).

Lantas, ke mana para penjual ikan…?

Piring-nasinya ditelungkupkannya, lalu pergi menadahkan tangan entah kepada siapa…dan mereka menyebut ini sebagai aksi menggugah hati…Mereka berdemonstrasi.

“Ternyata para penjual ikan melakukan aksi demonstrasi ke kantor Dinas Perikanan, Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi, Dinas Perhubungan, kantor bupati, dan akhirnya bermuara di kantor DPRD Ende,” tulis Anton Harus.  

Hasilnya?

Para penjual ikan mengajukan cukup banyak tuntutan, dan seperti biasa, pihak pemerintah memberi jawaban berupa janji. Ya, hanya bisa berjanji, sebab cara kerja pemerintah membutuhkan perencanaan yang matang. Tidak kenal istilah ‘kaget-kaget’ pun improvisasi. Hanya saja tak jarang terjadi,  bahwa sekian sering janji-janji itu terlupakan; atau memang sengaja dilupakan, karena janji itu sesungguhnya cuma kata rayuan, yang sengaja dilontarkan untuk menenangkan emosi massa.

Jika demikian, mengapa mesti ikut terlibat dalam aksi akal-akalan ini? Mengapa mesti menggelar aksi demo besar-besaran kalau hasil aksi itu bisa ditebak? Bukankah masih tersedia cukup banyak cara, semisal mendata semua kebutuhan para penjual ikan dan nelayan, lalu menyerahkannya kepada para anggota dewan untuk memperjuangkannya?

Sebenarnya ada banyak cara untuk menyampaikan aspirasi, yang andai sungguh dipilah dan dimanfaatkan, niscaya para penjual ikan tidak akan sampai ‘menutup’ aktivitas mereka, yang ujung-ujungnya merugikan diri mereka sendiri.

Namun, begitulah pasar dan ‘orang-orang pasar’. Rumah dan kantor adalah istana, tetapi pasar adalah hamparan samudera, yang selalu bergelora seirama hempasan angin, dan mengamuk-ganas saat dipermainkan musim.

Atau, dengan kata lain, aksi mogok dan demonstrasi 24 September kemarin adalah gelora dan amukan orang-orang pasar akibat hembusan angin yang tak dapat dipastikan dari mana arahnya, dan entah ditiupkan oleh siapa.

Meski demikian, tak dapat diragukan lagi bahwa hembusan angin kemarin berhawa politis, apalagi musim pilkada hampir tiba.

Setelah membaca berita head line Flores Pos edisi Selasa, 25 September, seorang teman saya mengirimkan pesan singkat berikut ini.

“Kalau berani, mereka mogok sampai sepuluh hari. Kita mau lihat, mereka mau makan apa. Kasihan para penjual ikan itu. Tanpa sadar, mereka dikudai orang-orang yang berkepentingan. Lihat saja nanti, aksi-aksi seperti ini akan semakin marak terjadi hingga sesudah pilkada,” katanya.“Heem...sok tahu...dasar pengamat politik dadakan. Sangkamu alat-alat tangkap para nelayan dan tempat jualan di pasar-pasar sudah memadai?”  Demikian saya bergumam sambil menghapus pesan singkat tak berguna itu.

Tetapi, tiba-tiba saya mengingat sesuatu. Saya ingat pernyataan bupati beberapa waktu lalu. Katanya, lapak ikan di pasar Mbongawani akan dibangun lagi, agar para penjual ikan yang belum kebagian bisa mendapat tempat. Selain itu, pasar Wolowona pun akan dibenahi. Uang sudah ada, tinggal melakukan tender dan memulai pekerjaan. Tapi, mengapa hal yang sama selalu diangkat dan dibesar-besarkan?

Heem...mungkin teman saya benar. Patut diduga bahwa masalah tersebut sudah dipolitisasi. Dan jika benar demikian, maka aksi 24 September itu tak lebih dari politik pencitraan. Ada sejumlah demagog yang mulai mencari muka dengan rakyat kecil agar bisa mendapat ‘tunggangan’ menuju pilkada mendatang. Dan menariknya, mereka memainkan dua modus sekaligus, yakni pura-pura memihak para nelayan dan penjual ikan pada satu sisi, dan memburukkan citra calon incumbent di sisi lain. Sebab, aksi-aksi massa yang sering digelar itu, secara tak langsung mau mengatakan bahwa para pemimpin yang berkuasa sekarang kurang memihak atau bahkan tidak mempedulikan masyarakat.

Permainan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Mekanisme perebutan kursi kekuasaan seperti ini sudah berurat-akar dalam praktik demokrasi semu kita. Hanya saja, sayangnya, kebanyakan masyarakat kita terlanjur mempercayainya sebagai hal yang wajar dan benar. Orang-orang besar bertarung merebut kursi kekuasaan, dan setelah itu menikmati kehidupan yang mapan, sementara para petani, nelayan, dan penjual ikan menanggung derita berkepanjangan. Hidup mereka tidak pernah lebih baik.

Karena itu, kalau ingin berdemo, berdemolah untuk kepentinganmu, bukan untuk kepentingan para demagog yang berlagak bagai malaikat penolong. Jangan lagi meninggalkan lapakmu terbalik kosong di tengah pasar, sebab dari lapak sederaha itu Anda mendapatkan uang. Berhentilah berteriak-memelas dan menadahkan tangan kepada pemerintah, sebab negara hidup dari kerja kerasmu.