GURU

2/28/2013

3 Comments

 
“…Diakah itu, wanita berusia 22 tahun, yang dengan lembut menuntun jemariku menjepit pensil secara tepat di sebuah ruangan kelas 24 tahun silam? Diakah itu, lelaki paruh baya yang selalu menggaruk pipinya dengan punggung tangannya, karena jari-jari dan kedua telapaknya selalu belepotan debu kapur tulis? Ataukah dia, lelaki sederhana berkaca mata, yang sering membuat ruang kelas kami sunyi karena materinya yang selalu segar – kaya dan gaya pemaparannya yang menyedot seluruh perhatian?”

Terlalu banyak untuk dikenang, dan terlalu dekat untuk menggambarkan sosoknya secara tuntas. Itulah guru. Sebab, kita bertumbuh di tangan para guru, dan bahkan hampir separuh masa hidup kita dilewati bersama mereka. Alhasil, selain kita dimampukan untuk tahu menulis dan membaca huruf-huruf serta aneka variasi rangkaiannya, kita dimampukan untuk membaca realitas hidup ini. Di tangan seorang guru, kita menjadi manusia, kita menjadi “orang”, dan menjadi pemilik sekaligus perawat bumi ini.

Dan mungkin karena ini, guru sering mendapat penghargaan sebagai manusia dengan profesi mulia; orang-orang yang berjasa menyiapkan generasi muda pewaris negeri dan bumi masa depan. Bahkan, ada tokoh dunia yang secara jujur menganggap gurulah orang terpenting di negerinya. Dialah Kaisar Hirohito (1901-1989), kaisar Jepang ke-124.

Dalam sejarah Jepang, Hirohito adalah kaisar yang terlama memerintah Jepang (1926-1989) dan merupakan salah satu tokoh penting pada masa Perang Dunia II dan pembangunan kembali Jepang.

Sejarah dunia mencatat, Jepang mengalami kehancuran pada tahun 1945 karena dibom tentara Sekutu. Saat itu, banyak rakyat Jepang yang mati, sementara sisanya sekarat karena terkena radiasi bom atom. Sesaat setelah kejadian mengerikan itu, pembantu kaisar dan menteri langsung melaporkan jumlah korban kepada kaisar. Namun, menanggapi laporan itu, Kaisar Hirohito mengajukan sebuah pertanyaan yang tidak saja mengejutkan, tetapi juga menyinggung perasaan sang pembantu dan menteri.

“Berapa guru yang hidup?”demikian tanya kaisar.  

“Mengapa paduka menanyakan jumlah guru yang hidup? Yang Mulia, saya sebagai anggota tentara keberatan atas pertanyaan Yang Mulia. Mengapa justru guru yang Yang Mulia tanyakan, dan bukan tentara? Padahal, banyak sekali tentara kita yang meninggal di Laut Cina Selatan, di Borneo, Celebes, Papua, Burma, dan lain-lain. Mereka mati untuk membela Tanah Air dan kaisar,” protes sang pembantu.

 “Tuan-tuan, apabila profesi-profesi yang lain tidak saya tanyakan, harap tuan-tuan