WAKTU

1/27/2013

1 Comment

 
Suatu pagi yang biasa…
aku terbangun dengan sepenggal mimpi;
dengan sejumput kisah dari mula kembaraku di negeri bawah sadar,
yang tak pernah kutahu entah kapan kan berlanjut…
kecuali merindukan malam sepanjang siang

Pagiku beranjak…
kualirkan mimpi bersama guyuran air dari tubuh,
melepasnya kembali menembus rahim ketakpastian,
sebab aku, seperti kata para bijak bestari...
harus berpaling kepada Yang Pasti; Kenyataan dari segala kenyataan...
dan itulah doa...itulah waktu.

Pagiku membubung...
rindu dan mimpiku menjelma kidung,
terlantun bahana bersama seribu untai kata doa...
dan ini, katanya, untuk kemuliaan Yang Mahaagung;  Ada dari segala ada.

Tapi di sini...di antara kerubutan sejumlah penyembah takzim,
Dia Yang Mahaagung menjadi serentak mahabesar dan terkecil, mahakuat dan paling rapuh,
Ia menjelma menjadi selempeng tipis roti makanan manusia...
dan aku mafhum, begitulah Sang Ada dalam sejarah; dalam waktu manusia,
Ia menjadi kecil untuk kemuliaan ciptaan, bahkan rela ‘menjadi tak ada’ untuk kehidupan yang lain...
Inilah Tuhan, inilah waktu... Ia serentak kekal dan tak kekal, ada dan tak ada.

Pagiku menerobos batas rasionalitas...
dan aku takjub serentak heran, paham serentak bingung.
Lantas, kutinggalkan altar kurban itu dengan sejumlah tanya:
apa itu doa, apa itu penjelmaan, apa itu kerinduan,
dan apa sesungguhnya sang waktu?

***

“Waktu adalah musuh kefanaan,” demikian bisik sekembang mawar di taman sebelah rumah doaku.
Tapi, aku cuma tertegun menyimak, mencoba menyelami rahasia sang waktu dan kehidupan.
“Lihatlah aku, wahai perenung”, pinta kembang mawar itu lagi.
“Tak ada yang bertahan dalam waktu...tak ada yang  bakal seabadi sang waktu. Bahkan, bertambahnya waktu adalah kutukan bagi keindahan,” kata kembang mawar itu lirih, sesaat  sebelum membiarkan kelopak-kelopak keringnya dihempaskan angin entah ke mana.
“Tapi, kamu masih punya cinta,” bisiknya lagi sebelum aku berlalu pergi.

***

Kususuri jalan setapak batu di tepi taman,
Melangkahi kembang kering dan dedaunan kemuning,
yang luruh tinggalkan batang dan ranting,
setelah semalam diterpa angin musim gugur...
dan aku teringat kata kembang mawar itu lagi,
“Tak akan ada yang bertahan dalam waktu, tak akan ada yang bakal seabadi sang waktu”.
Aku berlalu dari bunga dan taman, beranjak pergi dengan satu rahasia terakhir...”cinta”.
Ya... “cinta,” demikian kata kembang mawar itu. “Meski tak akan ada yang bertahan dalam waktu, tapi kamu masih punya cinta”, katanya.

Tapi, apa maksudnya?
Kutemui sahabat-sahabatku satu demi satu, dan kucoba tanyakan arti dari rahasia ini. Namun, tak satu pun sanggup menjawabnya.
Aku lalu bertanya kepada seorang penyair, dan ia memberi aku jawaban ini: “Entahkah waktu atau cinta, aku tak begitu tahu. Tapi, aku tahu siapa aku. Aku tak terlahir sebagai penyair, tetapi aku mencintai pekerjaan ini. Aku lalu menekuninya, dan sekarang kau dan aku temukan diriku sebagai penyair. Sekarang... dengarlah hai anak muda... sangkamu apa yang kumiliki ini adalah kebetulan atau hadiah dari sang waktu? Tidak! Sekali lagi kukatakan tidak! Waktu tak pernah mengubah apa pun. Hanya cinta yang bisa membuat kita berubah dalam waktu.

Dan, tentang keabadian...itu bukan perkara manusia. Sebab, tugas manusia hanyalah memaknai hidupnya...
Kembalilah dan tanyakan pada mawar itu... dan ia akan menyingkapkan rahasia ini: “Hal yang  paling membahagiakan dalam hidupku adalah pernah menghasilkan kembang-kembang yang indah,  yang sempat membuat bumi tersenyum, bukannya bisa bertahan mekar sepanjang waktu”.