“Aksinya memicu geram dunia, hingga berpuluh peluruh merobek tubuhnya…hanya saja rohnya enggan pergi, masih dipelihara orang-orang sezaman…”.

Demikian Dr. Ashari, sang gembong teroris yang beberapa tahun lalu menjadi hantu paling mengerikan bagi warga Indonesia dan warga asing yang sempat singgah di negeri tercinta ini. Melalui sejumlah aksi teror dan bom bunuh diri yang dirancangnya, ia menjadi malaikat penyebar maut yang sungguh nyata. Dan naas, ratusan insan tak berdosa telah meregang nyawa di tangannya.

Namun, sebagaimana telah dirancang Sang Penguasa Agung bahwa kejahatan tak pernah bisa memenangkan kebaikan untuk kekal, sang jenius pembuat bom itu pun akhirnya tewas di ujung senjata personel Densus 88. Ia tewas secara terkutuk hingga namanya pun tak ingin diingat-ingat lagi.

Tapi, menariknya, nama itu tiba-tiba disebut-sebut lagi beberapa hari lalu di salah satu pelosok di wilayah Kabupaten Ende.

“Doktor Ashari bisa kita jadikan contoh. Ia memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni. Namun, karena tidak diikuti dengan pembinaan karakter yang baik, Ashari memanfaatkan ilmunya untuk membunuh. Ashari memanfaatkan kemampuannya untuk membuat bom dan kemudian menghancurkan banyak orang…,” kata Wakil Bupati Ende Achmad Mochdar di Nangamboa, Kecamatan Nangapenda, saat membuka kegiatan perkemahan gudep pramuka SMAK St. Petrus Ende, (FP, Senin, 15 Oktober 2012).

***

Sebuah cara pandang yang ilmiah. Bahkan, bisa dibilang Mochdar sedang mempraktikkan cara pandang kritis dua arahnya sang filsuf Alfred North Whitehead. Ia tidak mengutuk sang teroris itu begitu saja seperti orang kebanyakan, tetapi juga tidak menerima dan mengagungkan kepintaran Ashari begitu saja. Sisi baiknya diteladani, tetapi sisi negatifnya tetap ditolak. Suatu cara pandang yang tidak memutlakkan kebaikan ataupun keburukan.

Dengan kata lain, Mochdar tidak memandang pribadi seseorang melulu buruk atau baik. Ia menyadari sisi terang dan gelap pada pribadi setiap orang. Suatu cara pandang yang perlu diteladani para guru, agar mereka tidak sesering mungkin menghukum, bahkan membuang sejumlah siswa hanya karena sedikit ‘keanehan’ mereka. Atau percaya begitu saja pada sejumlah siswa yang kelihatan sopan dan cerdas, padahal sejatinya adalah para pembangkang tersistem.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Achmad Mochdar mengangkat tokoh gembong teroris itu untuk sebuah kepentingan pedagogis. Tepatnya sebagai sebuah awasan, agar para generasi muda yang cerdas bisa memanfaatkan kemampuan mereka semata-mata untuk kebaikan diri dan orang banyak. Bukan sebaliknya untuk membunuh atau menghancurkan sesama.

Namun, ketika Mochdar mencoba mencari contoh konkret pembanding ekses perilaku negatif Dr. Ashari di sekitar kita, entah sadar atau tidak, ia sebenarnya berlangkah meninggalkan kepentingan pedagogis menuju kepentingan politik. Ia membidik sebuah sasaran, yang hemat saya, telah lama diinginkannya.

“Seorang pemimpin, tegas Mochdar, selain dituntut untuk memiliki kecerdasaan intelektual, juga mesti memiliki kecerdasan emosional. Pemimpin yang  tidak cerdas secara emosional akan lebih sering merugikan banyak pihak. Program yang ditelurkannya akan membawa dampak bagi kerusakan lingkungan serta kerusakan lainnya,”  (FP, Senin, 15 Oktober 2012).

Dengan kata lain, ada pemimpin, yang entah sadar atau tidak, berlaku seperti Dr. Ashari. Ia memanfaatkan kecerdasan dan kekuasaannya untuk menghancurkan banyak orang.

Dengan demikian, benarlah pernyataan ini, “Aksinya memicu geram dunia, hingga berpuluh peluruh merobek tubuhnya…hanya saja rohnya enggan pergi, masih dipelihara orang-orang sezaman…”.

Dr. Ashari memang sudah lama telah dibunuh, namun rohnya, semangatnya, dan terutama ekses-ekses negatifnya ternyata masih dipelihara dan dihidupi banyak pihak. Dan kenyataan ini sebenarnya lebih mengerikan, sebab roh Ashari ternyata berinkarnasi dalam diri orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kemaslahatan orang banyak.

Lantas, pertanyaannya, siapa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Achmad Mochdar?

Tidak ada yang tahu. Sebab, di bumi perkemahan Nangamboa itu, Mochdar tidak cuma memainkan pisau bedah kristis Alfred North Whitehead, tetapi juga tampil sebagai seorang penembak misterius.

Tetapi, ia menjadi misterius bukan karena tak ada orang yang mengenal dirinya, melainkan karena ia membidik dan menarik pelatuk dari tempat yang tidak diduga-duga. Di hadapan sejumlah pelajar yang masih buta politik, ia mengkritisi sebuah kebijakan pembangunan yang tidak disetujuinya, karena bakal menghancurkan banyak pihak. Di hadapan anak-anak sekolah yang tidak pernah mempedulikan soal pro kontra tentang tambang, Mochdar mengatakan roh Dr. Ashari hidup dalam diri orang-orang merusakkan lingkungan hidup.   

Selain itu, ia menjadi misterius karena sasaran bidikannya tidak jelas. Ia tidak menyebut objek atau sasaran tembakannya. Hanya saja ada yang gelisah, bahkan telah menyediakan tandu untuk memungut korbannya pasca pilkada nanti. Tetapi, kita berharap hal ini tidak menjadi kenyataan. Kita berharap masalah lingkungan hidup tidak sekadar dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Dan lebih dari itu, kita berharap roh Dr. Ashari tidak menjelma dalam diri siapa pun di Kabupaten ini.