“Tetapi Aku berkata kepadamu, kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu…”

Jika Kitab Suci adalah jantung agama, maka makna kutipan di atas adalah darah di dalam tubuh agamaku. Tetesan dan percikan dari darah dan hidup seorang lelaki bernama Yesus, yang setelah kematian dan kebangkitan-Nya diakui sebagai Kristus Sang Mesias, dan yang hingga sekarang disembah berjuta-juta umat manusia dari pelbagai belahan bumi sebagai guru dan Tuhan.

“Dialah Putra Tungggal Allah, yang diutus ke dunia untuk menebus dan membebaskan manusia dari belenggu kuasa dosa,” demikian kredo iman Kristiani.

Dari mulut-Nya telah mengalir terucap kata-kata pengajaran itu dua ribu tahun silam. Dan melalui tragedi Kalvari, Ia sendiri telah menepati ajaran-Nya.

Sang Penginjil Lukas menulis, “Ketika mereka sampai di tempat yang bernama Tengkorak, mereka menyalibkan Yesus di situ, dan juga kedua orang penjahat itu, yang seorang di sebelah kanan-Nya dan yang lain di sebelah kiri-Nya. Lalu Yesus berkata: Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Ia dengan tulus mengampuni dan mendoakan semua orang yang mengolok-olokkan Dia, menyiksa, dan akhirnya membunuh Dia secara keji di atas palang penghinaan. Sebuah ekspresi radikal dan pembuktian tak tertandingi, bahwa kasih memang mengatasi segalanya.

Dan andai para murid-Nya tak melarikan diri satu demi satu pada hari penyaliban itu, niscaya permintaan-Nya pada malam perjamuan terakhir akan diucapkan-Nya sekali lagi: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.”

Lantas, apakah pesan dan perintah-Nya ini sudah dijalankan orang-orang yang menyebut diri pengikut-Nya?

Heem…tentang ajaran-ajaran yang lain rasanya tidak ada keberatan. Semuanya bisa dijalankan secara sempurna. Namun, tentang ajaran yang satu ini, rasanya banyak orang tak sanggup melaksanakannya. Dan ini tak terbantahkan. Sebab, tanpa perlu memutar ulang rekaman jejak kelam agamaku di masa silam, kita masih punyai banyak contoh dan bukti, bahkan ada yang sangat dekat di pelupuk mata kita.

***

Setelah membaca berita tentang gelar sidang kasus pencemaran hostia kudus di gereja Stasi St. Arnoldus Jansen Wolowona, di mana terdakwa diancam hukuman lima tahun penjara, seorang temanku bergumam puas. “Rasa kau. Sudah tahu itu bukan gerejamu, masih nekad cari soal,” katanya.

Terkesan temanku itu merasa hukuman tersebut sudah setimpal. Setimpal dengan tindakan pelaku, dan setimpal dengan harga rasa keagamaannya yang mungkin tercabik-cabik akibat ulah terdakwa. Dengan hukuman itu, temanku merasa luka rasa tersinggung plus dilecehkannya itu sudah terobati. Dan secara manusiawai, sikap seperti ini tentu saja dianggap wajar, karena lahir dari suatu latar pikir bahwa agamaku sakral dan tak seorang pun boleh menodainya.

“Kasus ini merupakan penodaan, karena yang berhak menerima sakramen maha kudus adalah orang Katolik yang sudah dibabtis, yang bebas dari larangan dan halangan, dan yang sudah menyiapkan diri. Orang Katolik memandang hal ini sebagai penodaan, karena Ekaristi adala puncak iman Katolik. Soal sanksi dan hukuman terhadap pelaku, kita serahkan kepada pihak yang berwenang. Terdakwa akan diproses sesuai dengan hukum pidana dan perdata yang berlaku,” Flores Pos edisi Rabu, 3 Oktober.

Logis, masuk akal, dan benar menurut aturan dan hukum negara. Terdakwa menodai salah satu agama resmi yang eksistensinya dilindungi hukum di negeri ni. Karena itu, tedakwa pantas dijatuhi hukuman yang setimpal.

Namun, ketika merenungkan hal ini, kata-kata Yesus seakan kembali terngiang-ngiang di telingaku, ”Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu…Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian?”

Demikian serangkai kata-kata kenangan, yang mebuat diriku lantas bertanya, apakah ini pertanda bahwa agamaku tidak lagi setia pada hukum Sang Guru, dan sebaliknya lebih setia kepada hukum buatan manusia?

Sebuah pertanyaan yang tentu tak mudah dijawab. Tetapi, kalau soal setia, banyak orang akan menjawab setia kepada kedua-duanya, sebab mereka seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia. Dengan kata lain, perosedur penanganan kasus ini sudah proporsional. Orang Katolik tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, dan ini satu bentuk pengampunan. Sanksi dan hukuman diberikan oleh pihak yang berwenang. Dan ini berarti orang Katolik juga setia kepada hukum negara yang berlaku. Dengan demikian, tak ada skandal bagi penghayatan iman kristiani, sekaligus tak ada pelanggaran terhadap hukum negara.

Hanya saja, Yesus, yang selama hidupnya sering membungkam para cerdik pandai dari kalangan Farisi dan ahli-ahli Taurat, akan mengulangi kisah-Nya sendiri sebagai kesimpulannya.

“Dahulu Pilatus juga berbuat seperti yang kamu lakukan sekarang. Ia mencuci tangan atas diri-Ku, dan atas darah-Ku yang tertumpah di tangan orang-orang yang menuduh-Ku menghojat Allah dan menodai agama Yahudi. Sekarang kamu melakukan hal yang sama, menghukum orang atas tuduhan menodai agamamu dan diri-Ku. Tapi, di mata-Ku, ia tak bedanya dengan mereka yang meludahi dan menikam lambung-Ku di Kalvari kala itu. Tidak bisakah kamu memandang dia sebagai orang yang tidak mengetahui perbuatannya dan tidak mengenal Aku, agar kamu membuatnya bertobat dan mengenal siapa sesungguhnya Aku?”

Oh agamaku ...!