TABOR ... sebuah nama yang tentu sudah tak asing. Tabor adalah nama sebuah gunung yang terletak di sebelah utara Israel, tepatnya di ujung timur lembah Yizreel, sekitar 17 KM di sebelah barat danau Galilea.

Dalam cerita Kitab Suci,  gunung Tabor disebut sebagai tempat terjadinya transfigurasi atau tempat Yesus berubah rupa.

Sang penginjil Matius (17:1-8) misalnya, mengisahkan bahwa ketiga murid Yesus: Yohanes, Yakobus dan Petrus melihat Yesus berubah rupa saat sedang berdoa di puncak gunung itu. Wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya putih bersinar laksana terang. Saat itu, Yesus pun tampak bercakap-cakap dengan Musa dan Elia.

Peristiwa ini merupakan pembuktian, serentak penegasan akan keilahian Yesus. Bahwa Ia sungguh Allah dan sungguh manusia.

Namun, dari perspektif lain, peristiwa ini merupakan penjelasan lanjutan dari salah satu visi Yesus, yakni keserupaan-Nya dengan manusia, terutama orang-orang kecil yang menjadi sasaran inkarnasi diri-Nya.

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Namun, siapa sesungguhnya yang dimaksudkan Yesus sebagai saudara-Nya itu?

***

Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero – yang tanggal 8 September nanti genap berusia 75 tahun – menyimpan sebagian jawaban atas pertanyaan tersebut.

Bahkan, bukan cuma itu. Lebih dari separuh alumni seminari di puncak bukit sandar matahari (Ledalero) itu telah mengalami peristiwa transfigurasi. Melalui pergulatan filosofis dan teologis yang kian menukik ke realitas kehidupan, mereka lalu menyaksikan wajah Yesus berubah menjadi aneka rupa insan muram, kusut, terbakar dan tercabik-cabik. Semuanya hancur oleh kemiskinan, ketidakadilan, dan pelbagai tindakan tak manusiawi lainnya. Dan, pengalaman transfigurasi itu seakan telah mendesak mereka segera turun dari bukit untuk menjamah mereka yang disebut-Nya saudara.  

Alhasil, serentetan aksi berikut ini menjadi tontonan yang lazim bagi masyarakat. Sebagai misal, ada imam dan frater yang keluar masuk lembaga pemasyarakatan untuk mendampingi para napi. Ada frater yang harus berjualan lombok dan bunga papaya di pasar Alok, makan bersama para penjaga toko di dapur para pengusaha, dan memakai seragam portir untuk memikul barang penumpang di pelabuhan Laurens Say.

Atau, ada yang harus korbankan aturan biara untuk ‘bermalam minggu’ bersama anak-anak muda di sepanjang jalan kota Maumere (regang wiit), mendampingi kelompok-kelompok buruh, tani, ojek, dan menjelajahi seluruh daratan Flores-Lembata untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terinjak-injak akibat kebijakan pertambangan.

Dan tak terlupakan, aksi sejumlah misionaris yang harus bertarung ekstra keras melawan keganasan alam benua Afrika, apatisme masyarakat Eropa dan Amerika, serta teror militer dan todongan kelompok mafia obat-obat terlarang di sejumlah negara Amerika Latin.

Semua aksi dan pengalaman pergulatan ini kemudian mengkristal menjadi sejumlah karya publikasi yang sarat kritik sosial, setelah melewati suatu tahapan refleksi yang intens.

Karena itu, di usianya yang ke-75 tahun ini, Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero patut berbangga dan bersyukur, sebab para alumninya telah menjalankan sebuah misi dua arah, yakni menemukan wajah Tuhan dalam diri orang-orang kecil pada satu sisi, dan memperlihatkan wajah Tuhan kepada mereka yang ketiadaan akses untuk mengalami wajah kasih Tuhan pada sisi lain.   

Akan tetapi, syukur dan kebanggaan itu tak boleh sampai membuat mata kita tertutup – apalagi sengaja ditutup – terhadap hamparan kenyataan yang terkesan masih tak sinkron dengan capaian ideal misi dua arah itu. Bahkan, tentang hal ini, terlontar sejumlah komentar miris, bahwa kita sebenarnya “menjulang” di puncak yang lain; bukan puncak bukit Ledalogos atau gunung Tabor itu.

Sebab, sementara kita kian gencar pada pelbagai aksi sosial-politik, iman umat tampak seperti tak terawat. Banyak keluarga katolik menjadi berantakan, semakin individualistis, dan pasif dalam kehidupan menggereja. Bahkan, lebih parah lagi, ada yang perlahan beranjak meninggalkan iman Kristiani. Sebagai contoh, setiap kali merayakan misa arwah, selalu saja terdengar bisikan-bisikan bahwa almarhum atau almarhuma meninggal tidak wajar. Ia ‘dibuat’ si ini atau si itu. Bisikan-bisikan ini lalu berubah menjadi tuduhan yang berujung pada disharmoni dan keterpecahan dalam Gereja.

Hal lain – yang selama ini cukup sering diberitakan Flores Pos – adalah penyelenggaraan ritual adat untuk mengatasi musibah tertentu, misalnya kekeringan, hujan berkepanjangan, badai, kekurangan hasil tangkapan laut, dan lain-lain. Semua ini tidak salah, sebab arah dari doa-doa dalam ritual adat itu adalah wujud tertinggi, yang dalam agama-agama disebut Tuhan. Namun, dalam banyak praktik, wajah Yesus hampir tak ‘tergambar’ di sana, dan sebaliknya meninggalkan kesan mendua dalam keyakinan. Apalagi, tersirat keyakinan dalam diri para pelaku ritual tersebut, bahwa ritual adat jauh lebih berdaya dari ekaristi.

Catatan terakhir, mayoritas masyarakat Flores dan NTT umumnya adalah Kristen. Sebagian besar adalah hasil didikan sekolah-sekolah Katolik, dan sampai kini masih menjadi umat Katolik dengan mayoritas gembalanya adalah alumnus lembaga pendidikan milik Seminari Tinggi Ledalero; STFK. Tetapi, mengapa praktik korupsi mewabah juga di provinsi ini?

Semoga momen perayaan 75 Seminari Tinggi Ledalero ini menjadi satu titik balik arah misi kita, bahwasannya setelah sekian lama kita turun gunung, kita mesti kembali ke Tabor, agar kita tak ‘menjulang’ di puncak lain. Kita kembali ke pengalaman akar transfigurasi sambil membawa serta semua umat yang dilayani, sebab hanya melalui perjumpaan pribadi dengan Tuhan, hidup mereka bisa berubah, bukan melalui kecaman dalam aksi demonstrasi.